CHAN Umar, laki-laki 43 tahun, asyik mencongkel-congkel selembar papan yang diletakkan di atas meja kerjanya dengan pahat. Sesek
CHAN Umar, laki-laki 43 tahun, asyik mencongkel-congkel selembar papan yang diletakkan di atas meja kerjanya dengan pahat. Sesekali tangan kanannya meraih tukul (penokok) kayu yang terletak di atas papan untuk memukul pahat, melubangi papan sesuai motif. Terkadang ia mengganti jenis pahat yang lebih selusin tergeletak di depannya. Perlahan namun pasti, selembar papan dari kayu surian yang sudah diketam itu berubah menjadi ukiran khas Minang di tangan Umar.n sehari-hari Chan Umar, pemilik bengkel “Ukiran Chan Umar” di Nagari Pandai Sikek, Kabupaten Tanah Datar. Pandai Sikek adalah daerah yang terkenal di Sumatra Barat sebagai sentra kerajinan tradisional songket dan ukiran khas Minangkabau.
Meski daerah ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Tanah Datar tetapi Pandai Sikek lebih dekat, hanya 20 km dari Kota Padangpanjang menuju Bukittinggi. Pilihan Hidup Di Pandai Sikek ada 6 bengkel ukiran tradisional dan Chan Umar dengan bengkelnya merupakan yang paling menonjol.Konon, menurut Chan Umar, Pandai Sikek sendiri memperoleh nama dari kepandaian Si Ikek mengukir interior dan eksterior rumah gadang. Si Ikek adalah seorang lelaki di daerah itu pada zaman dulu yang sangat mahir mengukir di atas kayu. Pandai Sikek sebagai sentra kerajinan ukir Minang yang banyak digunakan untuk ukiran Rumah Gadang (rumah adat Minangkabau) dan kerajinan songket yang sudah ada sejak zaman dulu hingga era Kolonial Belanda, sempat terhenti di zaman Penjajahan Jepang (1942-1945). Kondisi ini terus berlanjut sampai 1960-an. Agresi Belanda Kedua, dan kekacauan politik dalam negeri, dari tragedi PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) hingga pertentangan dengan Partai Komunisme Indonesia (PKI), membuat suasana mengukir dan bertenun di Pandai Sikek benar-benar terhenti.Bahkan sebagian besar untuk rumah gadang yang dibangun pemerintah, seperti museum dan renovasi rumah gadang bersejarah. Di antaranya rumah gadang Museum Adityawarman di Padang, rumah gadang Museum Kebun Binatang Bukittinggi, dan Istana Pagaruyung di Batusangkar. “Namun setelah itu hampir tidak ada lagi proyek pemerintah dan pesanan ukiran rumah gadang, kecuali pesanan rumah gadang di beberapa tempat seperti di Nagari Sulit Air, Solok yang dibuat beberapa orang perantau,” kata Umar.
Beberapa perantau Minang yang kaya tetap ada yang merenovasi rumah adat lama mereka yang rusak dengan yang baru, atau membuat rumah di kampung bergaya rumah adat dan sanggup mengeluarkan uang Rp400 juta untuk ukirannya untuk interior dan eksteriornya,” ujarnya. Sama dengan Motif Songket Chan Umar menetapkan harga ukirannya Rp500 ribu hingga Rp1,5 juta per meter bujur sangkar. Mahal-murahnya ukiran tergantung besar, kecil, dan rumitnya motif yang dipesan. Kayu yang digunakan adalah surian, kualitasnya sedikit di bawah jati, yang banyak terdapat di hutan Sumatra Barat. Sedikitnya Chan Umar membutuh dalam satu hari 5 kubik surian. Meski di Sumatra Barat sentra kerajinan ukir tradisional Minangkabau tak hanya terdapat di Pandai Sikek, juga di Candung (Agam), Cupak (Solok), dan Lintau (Tanah Datar), namun Pandai Sikek jauh lebih berkembang, dan Chan Umar merupakan pengukir terkemuka. Keunggulan produk yang dihasilkan Umar adalah hasil dari kecermatannya menorehkan motif dan menentukan warna.
Pengerjaan kedua seni kerajinan ini di bawah kolong rumah gadang pada masa lalu membuat motif saling mempengaruhi dan umumnya serupa. Diperkirakaan ada 200 motif tradisional untuk ukiran, namun yang sering dipakai hanya sekitar 20-an. Masing-masingnya memiliki filosofi sendiri. Misalnya motif ‘itiak pulang patang’ (itik pulang sore) memiliki filofosi masyarakat Minangkabau akan teringat dengan kampung halamannya dan selalu seiya-sekatu (bersatu). Chan Umar sangat optimistis kepandaian kerajinan ukir yang dimilikinya dan orang-orang di Pandai Sikek akan selalu menjadi andalan perekonomian di daerah itu. Meski di Pandai Sikek 70 persen mata pencarian penduduk adalah di sektor pertanian dan 30 persen di sektor kerajinan (tenun dan ukir), namun karajinan telah membuka banyak lapangan pekerjaan.“Biasanya seorang perajin hanya mampu bertahan selama 15 tahun, setelah berkeluarga dan kebutuhan ekonomi bertambah, ia mencari usaha lain, kebanyakan tak lagi mengukir,” katanya. Karena itu, selain Chan Umar, para pengukir umumnya berusia di bawah 40 tahun. Meski begitu, tangan-tangan terampil mereka tak pernah berhenti menorehkan motif khas minang di selembar kayu untuk sebuah ornamen seni yang enak dipandang mata dari generasi ke generasi.
Selama ribuan tahun,
jahe sudah dikelompokkan sebagai penyedap masakan dan minuman, serta pengobatan.
Saco-
Indonesia.com - Selama ribuan tahun, jahe sudah dikelompokkan sebagai penyedap masakan dan
minuman, serta pengobatan. Tanaman rimpang ini disukai karena efeknya yang menghangatkan tubuh.
Salah satu khasiat lain dari jahe adalah membantu mengurangi gejala asma.
Para
peneliti dari departemen anestesiologi Columbia University mengatakan, jika dikombinasikan dengan
obat-obatan asma, jahe akan meningkatkan efek rileksasi otot polos di sekitar saluran
napas. Otot-otot ini menyempit saat serangan asma terjadi sehingga menyulitkan untuk bernapas.
Para peneliti menemukan ada tiga komponen spesifik dari jahe yang memiliki efek
rileksasi sehingga baik jika dikombinasikan dengan obat asma. Ketua studi Elizabeth Townsend
mengatakan, komponen jahe yang telah dimurnikan dapat bekerja secara sinergi dengan pengobatan
asma dalam rileksasi otot saluran napas.
"Prevalensi asma meningkat
beberapa tahun terakhir, namun dengan pengetahuan yang lebih baik tentang penyebabnya dan
bagaimana penyakit ini berkembang, maka pengobatan baru yang lebih efektif dapat
diciptakan," ujar Townsend.
Asma dikendalikan oleh otot yang mengetat di
saluran udara yang disebut bronkokonstriksi. Maka selama ini asma diobati dengan betagonists yang
berfungsi mengendurkan otot.
Untuk mengukur efek dari jahe, para peneliti
mengambil sampel jaringan otot saluran napas dan memberikan paparan sebuah senyawa
neurotransmiter yang disebut asetilkolin untuk membuat otot berkontraksi. Kemudian mereka
memberikan tiga perlakukan berbeda pada otot polos yang berkontraksi tersebut.
Perlakukan pertama yaitu dengan memberikan isoproterenol, salah satu tipe bronkodilator, yang
dicampur dengan komponen jahe 6-gingerol. Kedua, pengobatan ditambah komponen jahe 8-gingerol,
dan yang tiga pengobatan ditambah komponen jahe 6-shogaol. Sedangkan ada juga kontrol yaitu
dengan hanya memberikan pengobatan saja.
Hasilnya, ketiga perlakuan memberikan
hasil yang lebih baik dibandingkan pengobatan saja. Khususnya, 6-shogaol merupakan komponen yang
paling efektif dalam mengendurkan otot yang memperbaiki pengobatan asma.
Ketiga komponen bekerja dengan mempengaruhi enzim yang disebut dengan phosphodiesterase 4D
(PDE4D). Penelitian sebelumnya menunjukkan enzim tersebut ditemukan di paru-paru, menghambat
mekanisme rileksasi di saluran napas dan mengurangi inflamasi jaringan.
Para
peneliti berharap studi ini dapat memberikan penjelasan yang lebih lanjut hingga ke tingkat
seluler mengenai efektivitas komponen jahe untuk pengobatan saluran napas.
Sumber :Medical Daily/Kompas.com
Editor :Liwon Maulana(galipat)